Notification

×

Iklan

Iklan

Indonesia Kehilangan Sosok Radhar Panca Dahana (Budayawan Indonesia)

Sabtu, 24 April 2021 | April 24, 2021 WIB Last Updated 2021-04-23T17:13:25Z

  

sarainews

Sarainews-Kupang,-Kamis, 22 April 2021 pukul 20.00, Indonesia kehilangan putra terbaik, yang mungkin kebanyakan orang belum pernah mengenalnya apalagi ide-ide cemerlangnya. Dialah Radhar Panca Dahana. Radhar lahir di Jakarta, 26 Maret 1965 dan menutup usianya di RSCM Jakarta Pusat setelah mengalami serangan jantung. 

Selama hampir puluhan tahun, di samping pengobatan cuci darah tiga kali seminggu, Mas Radhar bertahan dalam panggilan kebudayaan untuk selalu hadir sebagai pembicara dan pembela kaum minoritas atas ketimpangan sosial yang masih melilit anak bangsa di daerah Jakarta. Slogan-slogan kebudayaan yang ia nilai sekedar seremonial, diperjuangkan dengan teman-temannya di seputaran jalan, aula kebudayaan, reruntuhan bangunan dan parit-parit sampah hingga istana formal yang ia nahkodai yakni Forum Peduli Taman Izmail Marsuki. 

Kenangan tentangnya, mengingatkan siapapun yang memilih jalan membela kebenaran dan memperjuangkan keadilan. Selepas memperingati Hari Kartini pejuang emansipasi kaum perempuan melawan kolonial dan pada hari ketika merayakan Hari Bumi Sedunia dilanjutkan hari berikutnya merayakan Hari Buku Sedunia, perkabungan justru hadir untul pribadi yang terus menyerukan suara keadilan dengan jalannya sendiri. Mas Radhar kembali ke Pencipta semua hikmat dan inspirasi. Ia benar-benar tenggelam dan hanyut dalam kemerdekaan abadi tujuan semua makhluk beralih. Mas Radhar sungguh mencintai bangsanya dan ia memerankan jalan kesenian dan kebudayaan sang liyan dengan seruan proletarnya. 

Ia yang kerap duduk sebagai dosen untuk mahasiswanya di Universitas Indonesia namun tidak terbeban untuk melanjutkan perjuangannya di jalan-jalan Kota Jakarta. Sebagai musafir dan nabi karena panggilan kemanusiaannya, Mas Radhar tentu paham konsekuensi dari pengabdiannya. Ia seorang sosiolog di lingkungan kampus tetapi sekaligus makhluk sosial di permukiman kumuh. Hati sosialnya terus bersinar cemerlang di tengah progres kesenian dan kebudayaan Tanah Air yang cenderung metodis namun kehilangan spiritualitas keindonesiaan. Seluruh hidupnya telah menebarkan fajar pemikiran yang asali tentang Nusantara di kejauhan sana, peradaban tingkat tinggi dan kaya akan nutrisi. Di mana saat yang sama, pola pendidikan dalam catur kurikulum kita semakin sering dipolitisir dan viral di media instan tapi kosong dan nirmakna belaka. 

Ia telah menanam pohon kebudayaan yang siap dari badai dan terjangan IPTEK serta somasi apapun meski terkadang penyakit kepentingan memperlihatkan ketakwarasan dan sesat pikir tiada henti berhembus. Mas Radhar memperlihatkan kepada kita perjuangan anak zaman yang hendaknya melawan arus dan gelombang perkembangan dengan menafikkan dirinya sendiri. 

Tulisannya di Kompas dan media nasional lainnya penuh gagasan-gagasan besar dengan tidak pernah melupakan alasan duduk di bawah untuk memantulkan narasi Indonesia yang bahari dan maritim. Itulah titik kecemerlangannya dan dengan duka karena kehilangannya, Indonesia beruntung pernah memiliki Radhar yang siang malam menyerukan tatanan baru kebudayaan di sudut batin lengkap dengan orkestranya. In paradisum deducant te angeli.(*Rm.Deodatus Parera)