Sarainews.Com-Kupang,-Prof. Dr. Otto Hasibuan, SH,.MM, Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia ( PERADI ) dalam Menapaki usia sembilan belas tahun organisasi profesi advokat ini dikatakannya, yang menjadi wadah perjuangan para Advokat untuk diakui sebagai profesi yang bebas dan mandiri dalam sebuah wadah tunggal yang padu (single bar) bernama Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI), agaknya masih menyisakan banyak tanya yang belum terjawab. Stagnasi merupakan diksi yang menggambarkan mandek-nya perjuangan yang relatif panjang dan tidak mudah. Meskipun akhirnya menurut Otto perjuangan yang tidak kenal lelah tersebut berbuah manis dengan lahirnya payung hukum yang ‘melindungi’ profesi Advokat, akan tetapi perpecahan justru terus terjadi dan tidak kunjung mereda.
Rinci menurut Otto, Payung hukum berwujud Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (Undang Undang Advokat) yang diundangkan pada 5 April 2003 sejatinya menjadi tonggak sejarah yang penting atas kebangkitan profesi Advokat yang mandiri dan independen. Kemandirian dan independensi demikian tentu menjadi aspek penting sekaligus menjadi kata kunci yang dilindungi oleh Undang Undang Advokat.
Otto jelaskan Melalui Undang Undang Advokat yang dilengkapi dengan eksistensi sebuah wadah organisasi profesi advokat yang menaungi seluruh kepentingan advokat Indonesia, tentu saja diharapkan memberikan penguatan atas hak dan kewajiban profesi Advokat di Indonesia. Dikatakan Otto dengan rinci,
Pasca lahirnya Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) pada 21 Desember 2004, maka wewenang pembinaan dan pengawasan profesi Advokat sepenuhnya dijalankan oleh wadah tunggal (single bar system) sebagaimana yang diamanatkan Undang-Undang Advokat. Wewenang tersebut antara Iain: (1) Melaksanakan pendidikan khusus profesi Advokat; (2) Pengujian calon Advokat; (3) Pengangkatan Advokat; (4) Membuat kode etik; (5) Membentuk Dewan Kehormatan; (6) Membentuk Komisi Pengawas; (7) Melakukan pengawasan; dan (8) Memberhentikan Advokat.
dalam hal ini sepenuhnya direpresentasikan oleh PERADI, namun khusus mengenai pengangkatan seorang advokat melalui sebuah prosesi sumpah profesi advokat, kewenangan penyumpahan ini masih menjadi kewenangan ---untuk tidak mengatakan adanya cawe-cawe--- lembaga Pengadilan Tinggi. Hal inilah salah satu bentuk stagnasi yang hingga saat ini masih terjadi, dan PERADI sebagai wadah tunggal sesuai UU Advokat tidak dapat melakukan tindakan apapun untuk mengubahnya.
Ditambahkan Otto Stagnasi Kondisi yang Mengancam Single Bar System yang Semakin Menyulitkan PERADI
Kondisi PERADI yang tidak independen dan mandiri khususnya mengenai kewenangan penyumpahan demikian, semakin diperunyam dengan keluarnya Surat Ketua MA Nomor: 73/KMA/HK.01/IX/2015 tanggal 25 September 2015 yang justru ‘membukakan pintu’ bagi Organisasi Advokat selain PERADI untuk mengusulkan penyumpahan Calon Advokat di Pengadilan Tinggi pada wilayah hukum domisili Advokat. Kondisi contradiction in terminis demikian kembali terjadi ketika mengkaitkan Surat Ketua MA Nomor: 73/KMA/HK.01/IX/2015 dengan beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi dan bahkan dengan Putusan Mahkamah Agung yang in krach van guisde mengenai berakhirnya langkah litigatif pada Gugatan Perbuatan Melawan Hukum yang diajukan Fauzie Yusuf Hasibuan-Thomas E. Putusan Mahkamah Agung demikian memunculkan beberapa implikasi yuridis berkaitan dengan eksistensialisme Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI).
Masih menurut Otto Sebagaimana diketahui, gugatan Fauzi-Thomas tersebut telah diputus oleh Mahkamah Agung dengan Putusan Nomor 3085 K/PDT/2021 tanggal 4 November 2021 yang amar putusannya menyatakan "mengabulkan gugatan Penggugat sebagian", serta "menyatakan sah Penggugat Dr. H Fauzie Yusuf Hasibuan, S.H.,M.H dan Thomas E. Tampubolon, S.H.,M.H masing-masing adalah Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN PERADI) Periode 2015-2020 berdasarkan keputusan Musyawarah Nasional II PERADI di Pekanbaru pada tanggal 12-13 Juni 2015. Adapun dalam rekonpensi putusan Kasasi ini juga menegaskan
"Menolak Gugatan Rekonpensi Penggugat Rekonpensi untuk seluruhnya".
Pada kulminasi demikian, Surat Ketua MA RI Nomor 73/KMA/HK.01/IX/2015 dalam perspektif instrumen hukum yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung, merupakan produk dikresi pengaturan kebijakan yang berlaku secara internal di lingkungan MA.
Namun demikian, ketika diperbandingkan dengan Keputusan Mahkaman Agung Nomor 57 Tahun 2016, maka Surat Ketua MA ini tidak lazim, baik secara nomenklatur maupun validitasnya, karena kategorisasi yang dikenal hanya Peraturan Mahkamah Agung (Perma), Surat Edaran MA (Sema) dan Surat Keputusan. Oleh karenanya, Surat Ketua MA Nornor: 73/101A/HK.01/IX/2015 tersebut dengan demikian tidak valid karena bertentangan dengan Putusan Mahkamah Agung, maupun dengan Putusan Nomor 3085 K/PDT/2021 tanggal 4 November 2021, bahkan berseberangan dengan semangat Putusan MK Nomor 35/PUU-XVI/2018 serta Putusan-Putusan MK sebelumnya yang menyatakan organisasi advokat berformat single bar system yakni PERADI.
Maka ketika terdapat tafsir oleh Ketua MA melalui Surat Ketua MA Nomor: 73/KMA/HK.01/IX/2015 bahwa organisasi profesi advokat sebagai multy bar system dengan memberikan peluang kepada Ketua PT untuk melakukan penyumpahan advokat yang diusulkan oleh berbagai organisasi profesi advokat selain PERADI, maka produk hukum demikian dapat dilakukan gugatan melalui Peradilan Tata Usaha Negara.
Hal demikian dikarenakan Surat Ketua MA Nomor: 73/101A/HK.01/IX/2015 ini bertentangan dengan AAUPB dan prinsip diskresi negara hukum Pancasila atau bahkan dapat dikategorisasi sebagai a buse of power. Maka Surat Ketua MA ini Nomor: 73/KMA/HK.01/IX/2015 harus batal demi hukum (van rechtwageneting) ketika diajukan melalui Peradilan Tata Usaha Negara. Namun apa mau dikata, hingga di 2023 ini pekerjaan rumah PERADI demikian tetap dikerjakan dan bahkan PERADI justru terjerembab pada perpecahan dan perebutan kekuasaan internal yang jauh dari kepedulian membangun PERADI sebagai wadah tunggal yang menaungi profesi advokat yang dikatakan sebagai officium nobile. Inilah bentuk stagnasi kedua yang justru melanggengkan kondisi terbukanya multy bar system yang sekaligus mengoyak PERADI sebagai wadah tunggal profesi advokat (single bar system) di Indonesia. Otto tanya, Apakah kita tidak berfikir ???