Notification

×

Iklan

Iklan

𝗠𝗲𝗻𝗲𝗹𝗶𝘀𝗶𝗸 𝗞𝗮𝘀𝘂𝘀 𝗣𝗲𝗺𝗯𝘂𝗻𝘂𝗵𝗮𝗻 𝗔𝘀𝘁𝗿𝗶𝗱 𝗱𝗮𝗻 𝗟𝗮𝗲𝗹

Senin, 09 Mei 2022 | Mei 09, 2022 WIB Last Updated 2022-05-09T14:32:03Z

 

Foto : Ardy Milik (𝐴𝑛𝑔𝑔𝑜𝑡𝑎 𝐴𝑙𝑖𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑃𝑒𝑑𝑢𝑙𝑖 𝐾𝑒𝑚𝑎𝑛𝑢𝑠𝑖𝑎𝑎𝑛)

𝘋𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘻𝘢𝘮𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘨𝘦𝘭𝘢𝘱𝘢𝘯, 𝘵𝘦𝘵𝘢𝘱 𝘢𝘥𝘢 𝘫𝘶𝘢 𝘬𝘢𝘩 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘦𝘳𝘯𝘺𝘢𝘯𝘺𝘪? 𝘠𝘢 𝘢𝘥𝘢 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘦𝘳𝘯𝘺𝘢𝘯𝘺𝘪 𝘵𝘦𝘯𝘵𝘢𝘯𝘨 𝘻𝘢𝘮𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘨𝘦𝘭𝘢𝘱𝘢𝘯. (𝘗𝘶𝘪𝘴𝘪 𝘉𝘦𝘳𝘵𝘰𝘭𝘥 𝘉𝘳𝘦𝘤𝘩𝘵)

Pembunuhan ibu dan anak di Penkase adalah kejahatan kemanusiaan yang menampar kewarasan masyarakat Nusa Tenggara Timur. Sejak penetapan tersangka tanpa kerja keras kepolisian karena yang bersangkutan mengakui kejahatannya di hadapan hukum, saat itu pula masyarakat NTT digugat kesanggupannya dalam berpikir karena cenderung menaruh harap pada aparat penegak hukum yang dalam pelaksanaan amanahnya cenderung gagu dalam menentukan kepastian hukum bagi pelaku.

Muatan kepentingan telah dimulai ketika tanpa usaha yang diduga pelaku menyerahkan diri dan kepolisian seolah mengistimewakannya hingga mempertemukannya dengan Kapolda. Aparat kepolisian pun cenderung gagap dalam menentukan pasal yang tetap pada kejahatan yang disangkakan pada pelaku. Tidak bisa dipungkiri, tekanan publik membuat penetapan pasal pada pelaku mengalami perubahan dari waktu ke waktu.

𝗥𝗮𝘀𝗶𝗼𝗻𝗮𝗹𝗶𝘁𝗮𝘀 𝗣𝘂𝗯𝗹𝗶𝗸

Kasus ini memicu rasionalitas masyarakat Nusa Tenggara yang muncul dalam sekian dalil di media sosial dan aksi masa beruntun mempertanyakan kepastian hukum pelaku dan keadilan pada korban. Meski, rasionalitas ini mesti dicurigai sebagai partisipan karena muncul dalam hal-hal artifisial seperti menyingkap privasi individu yang terkait dengan kasus ini yang seharusnya tidak muncul dalam diskursus. Tetapi, ada satu hal penting yang muncul adalah konstruksi kesadaran publik yang menyeruak karena kinerja aparatur penegak hukum yang timpang.

Pada sisi lain, masyarakat cencerung tanggap dalam persoalan yang hanya menyangkut kepentingan perseorangan tetapi bila mencuat kasus struktural-komunal oleh negara dan aktornya seperti perdagangan orang, korupsi dan perampasan lahan yang terjadi di Besipae, Rendu, Wae Sano, Lingko Liok, atau banalitas rezim Victory-Joss, ternyata tidak menjadi perhatian luas. Hal ini berarti masyarakat kita lebih tanggap pada persoalan dosa sosial daripada dosa komunal yang menyengsarakan lebih banyak orang.

Coba bandingkan berapa banyak yang mengkritisi pemerintah karena merampas lahan atau korupsi dibanding yang mencela Randy atau Ira karena konspirasi yang mereka buat. Mengkritisi inkompetensi pemerintah terlanjur dianggap sebagai tabu; misalnya bagaimana reaksi orang NTT ketika masyarakat Timor Tengah Selatan dikatai '𝘯𝘢𝘮𝘬𝘢𝘬' dan '𝘮𝘰𝘯𝘺𝘦𝘵' di Sumba. Umumnya cenderung diam. Bahkan yang mengaku progresif pun masih lebih banyak bungkam karena mengamankan posisi. Bagaimana kita bisa mengharap pada simultanisasi pergerakan karena kepedulian?

Pembunuhan Astrid dan Lael mencuat ke publik karena mencederai harkat dan martabat manusia NTT atas pembunuhan ibu dan anak yang tidak manusiawi. Pembodohan publik' melalui proses penegakan hukum yang penuh drama. Miskomunikasi di dalam tubuh kepolisian daerah Nusa Tenggara Timur untuk menjelaskan alur kasus kepada publik. Begitu pula, dengan waktu penanganan kasus yang berlarut-larut hingga pergantian personel dalam tubuh kepolisian yang bersangkutan dengan kasus ini. 

Persoalan ini memberi pelajaran penting bagi masyarakat Nusa Tenggara bahwa kita cepat tanggap pada kejahatan personal tetapi dalam kejahatan strukural_komunal kita cenderung bungkam pada kesewenang-wenangan. Pada satu sisi, rasionalitas publik dibuktikan dengan mengkritisi kejanggalan yang mencuat ke publik tanpa perlu analisis hukum lebih mendalam, seperti: kejanggalan dalam mengeksekusi korban, bukti percakapan antara individu yang terkait dengan pelaku yang tidak menjadi pertimbangan hukum sampai proses hukum yang berlarut. Tarik ulur berkas pemeriksaan antara jaksa dan kepolisian sampai 4 kali. 

𝗞𝗶𝗻𝗲𝗿𝗷𝗮 𝗞𝗲𝗽𝗼𝗹𝗶𝘀𝗶𝗮𝗻

Kacamata awam yang tidak mengerti proses penetapan tersangka, alur logika kasus dan legislasi yang mengaturnya, dengan mudah dikritisi masyarakat awam karena kinerja kepolisian yang tidak profesional. Mengukirbalikan logika manusia bahwa pembunuhan atas dua nyawa tidak mungkin dilakukan oleh seorang individu yang dalam kesehariannya terlihat polos dan lugu. Tidak mungkin menyakiti orang yang dikasihinya meski tidak ada ikatan sah. 

Bagaimana mungkin petunjuk bahwa eksekutor atas ibu dan anak dilakukan oleh orang yang mencintai kekasih lamanya sembari mempertahankan rumah tangganya tidak mampu dinalari oleh polisi di NTT yang sudah menangani sekian kasus kriminal. 

Apa para polisi sebagai penyidik tidak melihat fakta psikologis dalam kasus ini? Kecenderungan untuk melihat suatu kasus secara legal positivistik telah menjadi kecendrungan umum para penegak hukum. Melihat secara komprehensif faktum personal yang multidimensional dalam sebuah kasus adalah kemustahilan. Maka tidak heran, sejak penetapan tersangka bukan karena kinerja kepolisian dalam menyingkap misteri kasuistik tetapi karena pengakuan tersangka pasal yang diterapkan dan perlakuan pada pelaku berubah-ubah. Sampai kapan kepolisian daerah Nusa Tenggara Timur mengolok-olok kesadaran masyarakat bahwa ada konspirasi dan ketimpangan dalam kasus ini. 

Kalau masyarakat awam sudah mempertanyakan kinerja kalian para polisi yang makan dari uang rakyat dalam menyikapi kasus, semestinya kalian bertanya pada diri sendiri apa proses yang dilewatkan atau diabaikan dalam penyingkapan kasus ini? Mestinya kalian bertanya sudah sejauh mana kinerja kalian dalam menyingkap kasus yang berlarut seperti kasus pembunuhan Paulus Usnaat, Bripda Obaja, perdagangan Orang yang dituduhkan kepada Sam Kawengian, korupsi Pemda yang tak pernah sampai meja hijau? Jangan memperburuk citra polisi yang hanya berani kepada yang tidak mengenakan helm saat operasi ketertiban lalu lintas.

Tuntutan publik sederhana. Aparat penegak hukum dapat memberikan kepastian hukum sesuai dengan marwah yang telah diembannya dalam peraturan perundang-udangan. Amanah yang diemban dan profesionalitas dalam menjalakan tugas dapat tercermin ke publik ketika keadilan dapat ditegakkan dan kejahatan dapat dihukum.

Pada akhirnya, dalam masa penjajahan Belanda pemberontakan kepada represifitas dan koersifitas kolonial bertumbuh subur lebih dari pada 1000-an pemberontakan di tanah air. Mengapa di saat kemerdekaan dengan segala kemewahan kebebasan berpendapat kita masih bungkam terhadap kesewenang-wenangan dan pembodohan public. Itu membuktikan bahwa rezim yang terus berganti tidak memajukan rasionalitas publik dalam mengkritisi kebijakannya dan menyatakan keberpihakannya kepada ketidakadilan.

Sekarang, tersangka tinggal menunggu waktu persidangan. Publik akan menyimak sejauh mana rasa keadilan dapat menjelma dalam proses hukum dan vonis hakim. Pengabaian terhadap tuntutan publik dan privilese terhadap pelaku hendaknya berhenti dalam taraf penyelidikan di kepolisian. Bila masih terus berlanjut, tentu gelombang protes atas ketidakpuasan akan kian membesar.